Gadis yang Mencintai Duri Mawar

Jumat, 24 November 2023 16:05 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Begitu besar cintanya pada duri mawar. Semua tangkai mawar yang dipetik selalu dipilih yang berduri. Semakin tajam duri pada tangkai itu, semakin ia suka.

Bunga namanya. Ia seumur denganku. Ia sering pergi sendirian ke lereng Gunung Abang hanya untuk memetik setangkai bunga mawar. Iya, hanya setangkai tidak lebih. Jika setangkai itu layu, ia berjalan lagi menuju lereng Gunung Abang di Kabupaten Bangli, timur Danau Batur itu. Dan, jika kuntum mawar sudah layu, tangkai dan durinya tidak pernah ia buang. Ia simpan di bawah kolong tempat tidurnya.  

Aku mengenalnya sejak sekolah dasar. Sering ia datang ke sekolah membawa sekuntum bunga mawar kuning lengkap dengan tangkai dan durinya. Kebiasaan inilah yang membuatku lebih terkesan padanya. Mawar yang dibawanya selalu bugar. Jika suatu saat ia lupa atau tidak membawa setangkai mawar, aku selalu menanyakan, “Mana mawarnya?”  Bunga tidak pernah menjawab. Wajahnya lalu terlihat sendu. Matanya menjadi kosong penuh rindu.

Nama sebenarnya adalah Ida Ayu Dewi Sartika. Namun, karena kebiasaannya membawa setangkai bunga mawar itu, teman-teman kelas 3 memanggilnya Bunga. Begitu juga aku. Dan kata inilah yang melekat padanya.  Ia pun sangat menyukai nama itu. Bukan karena ia menolak nama yang diwariskan oleh orang tuanya, tapi bunga mawar sudah menjadi bagian hidupnya. Ia lebih mencintai duri pada setangkai bunga mawar dari pada dirinya sendiri.

Begitu besar cintanya pada duri mawar. Semua tangkai mawar yang dipetik selalu dipilih yang berduri. Semakin tajam duri pada tangkai itu, semakin ia suka. Sesekali duri mawar itu ia tusukkan pada dadanya. Menghunjam dalam. Namun anehnya, duri-duri mawar itu tidak ada yang melukainya. Ida tidak merasakan sakit. Ia tersenyum menikmatinya. Senyum penuh cinta. Begitu intim dan bahagia.

Kebiasaan itu sudah dilakukan beberapa tahun sejak kelas 3 SMP.  Ia selalu mengunci kamar tidur khawatir tangkai dan duri mawar yang disimpan di kolong diketahui orang tuanya. Jika bapanya mengetahui kebiasaan ini tentu akan melarang, tangkai dan duri mawar itu pasti disuruh membuang.

Suatu ketika, satu hari menjelang hari raya Siwaratri, orang tua Ida Ayu Dewi Sartika mengadakan bersih-bersih griya. Segala hal yang dianggap mengotori rumah harus dibakar atau dibuang ke laut. Mulai dari panyengker, angkul-angkul, sanggah, sampai ruang dapur harus dibersihkan. Begitu juga dengan kamar-kamar tidur. Ayahnya minta agar Ida Ayu membukakan kamarnya untuk dibersihkan. Ida Ayu menolak. Ia justru masuk kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Sampai dua hari setelah hari raya peleburan dosa ini, Ida Ayu tidak keluar. Kamar masih terkunci rapat.

Kedua orang tuanya sangat khawatir. Pintu kamar dibuka paksa setelah berkali-kali panggilan dan bujukan ayahnya tidak ada jawaban. Ketika pintu berhasil dibuka, Ida Ayu tidak ada di dalam. Kamar kosong. Jendela kamar terkunci. Hanya ada tempat tidur  dengan kasur, bantal, dan guling bersarung ungu. Di atasnya terlipat selimut kuning.  Semua tertata rapi. Dicarinya sampai di kolong tempat tidur, Ida Ayu tidak ditemukan. Kolong tempat tidur bersih. Tidak ada setangkai mawar pun tinggal di situ. Hanya aroma mawar memenuhi ruangan. Orang tua Ida Ayu kebingungan. Ida Ayu Dewi Sartika alias Bunga anaknya hilang. Lenyap bersama semua tangkai mawar berduri yang ia kumpulkan selama ini.

*

Gunung Abang menjulang. Ketinggiannya lebih dari dua ribu meter di atas permukaan danau. Gunung ini berada tepat di atas Desa Trunyan. Untuk menuju ke Gunung Abang kita harus melewati Kintamani. Gunung ini bersebelahan dengan Gunung Batur. Terdapat banyak pura dan arsitektur-arsitektur kuno di jalur pendakian gunung ini. Gunung ini memiliki kaitan erat antara masyarakat Bali dengan Kerajaan Majapahit. Kawasan sekitar Gunung Abang merupakan tempat tinggal suku asli Bali yaitu Bali Aga. Ida Ayu Dewi Sartika lahir dan besar di sini, tepatnya di Desa Songan. Orang tuanya sebenarnya berasal dari Legian. Pada awal pernikahan, pindah ke desa ini. Setahun kemudian, lahirlah Ida Ayu Dewi Sartika.

Selain memandang kerling Danau Batur yang kemilau sepanjang waktu, dari lereng Gunung Abang, gunung tertinggi ketiga di Bali itu, terbentang pemandangan yang elok sampai batas cakrawala. Di sepanjang jalan tumbuh mawar liar. Semua pohon mawar yang tumbuh di lereng gunung ini berbunga kuning keemasan. Bunga-bunga mawar di tempat ini selalu mekar menawan dengan aroma khas, tidak pernah layu. Jika bunga dipetik, tujuh hari kemudian kelopak mawar akan berubah menjadi putih bersih sebelum layu, duri di tangkainya berubah menjadi ungu muda.

 Semua kupu-kupu yang hinggap di sini, sesaat setelah menghisap madu pada kelopak mawar,  sayapnya akan berubah menjadi kuning menyerupai mawar itu. Pasangan laki perempuan yang sedang jatuh cinta, jika berkencan di sini dan lelakinya memetik bunga mawar, lelaki itu akan hilang dan berubah menjadi duri tajam yang tumbuh di tangkai-tangkai mawar.   

Dari Desa Songan sampai ke tempat bunga-bunga mawar itu tumbuh perlu pendakian sangat panjang. Aku membayangkan bagaimana lelahnya Ida Ayu sehabis memetik mawar kuning di sini. Ia harus berjalan sendirian berjam-jam. Sendirian. Namun, ia selalu mengganti bunga mawar kuning yang telah layu. Dan kebiasaan itu sudah mulai dilakukan beberapa tahun.

Sebelum memetik setangkai mawar, ia terlebih dahulu singgah di sebuah candi tua di lereng Gunung Abang. Sebelum kaki langit timur meremang terang, ia berangkat dari rumah. Sampai di lereng gunung itu pada pagi hari berikutnya bersamaan dengan terbitnya matahari. Ditatapnya Danau Batur yang berkilau kekuningan terkena semburan sinar matahari pagi itu. Bentuk danau itu meyerupai bulan sabit. Namun, saat Ida Ayu menatap dalam-dalam, danau berubah bentuk menjadi sepasang mata yang memandanginya dengan penuh gairah. Semakin menatap, Ida Ayu semakin larut dalam sebuah imajinasi cinta yang begitu liar.

Lalu, Ida Ayu mulai kembali melangkahkan kaki. Matanya yang sayu karena lelah dan mengantuk, berubah berbinar seolah segala rindu telah terobati. Kini sepasang matanya kembali indah. Bibirnya basah. Wajahnya seranum bulan. Dari tangkai mawar satu ke tangkai lain tangannya menari sebelum akhirnya menemukan tangkai berduri yang dipetiknya.

Digenggamnya erat-erat duri yang tumbuh pada tangkai mawar yang dipetik. Begitu erat sehingga duri itu masuk dalam telapak tangan Ida ayu. Anehnya, duri mawar itu tidak pernah melukai tangannya, tapi justru membangkitkan gairah. Kemudian ia turun dari lereng gunung dengan setangkai mawar kuning keemasan di tangan kanannya. Hatinya  bergembira dan penuh cinta. Begitulah selalu.

Sampai sekarang Ida Ayu Dewi Sartika, gadis belasan tahun, yang menghilang di kamar tidurnya itu belum juga ditemukan. Kabar hilangnya gadis ini sudah menyebar di Bali. Para tetua adat, para pemuda yang pernah naksir, dan banyak paranormal yang mencari belum ada yang berhasil.

Pecarian gadis ini sudah dilakukan hampir di semua tempat. Di makam Desa Trunyan yang berada di kaki gunung itu tak satu pun tengkorak atau jasad yang menandai bahwa ia adalah Bunga. Ia memang suka ke pantai, tapi Pantai Pandawa, Kuta, Tanjung Banoa, Jimbaran, Sanur, Tanah Lot, dan hampir seluruh pantai disisir tidak juga ditemukan Bunga atau jasadnya. Dan semua hampir menyerah dan putus asa. Maka, aku menyarankan agar orang tuanya  merelakan kepergian Ida Ayu Dewi Sartika. Namun, ia tetap akan mencari dan menunggu.

Aku baru teringat Wayan Badra. Waktu di SMP, aku, ia, dan Ida Ayu Dewi Sartika  satu kelas. Dari kelas 1 sampai kelas 2 kami sangat akrab. Hampir setiap hari kami bercerita dan belajar bersama. Ida Ayu Dewi Sartika berambut lurus panjang hitam pekat. Jika tersenyum, lesung pipinya selalu memikat kedua mataku. Matanya jernih dengan kerling yang menancapkan rindu. Aku dan Wayan Badra sama-sama menyukai gadis bermata bintang ini. Namun rasa cintaku ini belum pernah terucap. Aku tidak punya cukup nyali untuk menyatakannya. Walau sampai sekarang rasa itu meluap.

 Saat kenaikan kelas, kupergoki Wayan Badra dan  Ida Ayu berdua mesra di Pantai Kuta. Hatiku begitu ngilu.  Cemburu menggebu. Namun pada kelas 3, Wayan tidak pernah kelihatan lagi di sekolah. Aku tidak pernah menanyakan keberadaan Wayan Badra. Aku terlanjur membenci Wayan. Yang kutahu, orang tua Ida Ayu Dewi Sartika tidak memperbolehkan Wayan dekat-dekat dengan anak gadisnya. Selain masih terlalu belia, mereka berbeda wangsa.

“Ida Ayu Dewi Sartika, bapamu mencari. Dan aku setia menunggu, ingin berkata cinta!” tiba-tiba aku berseru lantang pada suatu hari saat bertemu bapanya. Namun, seketika itu juga Ida Bagus Sentana, ayah dari Ida Ayu Dewi Sartika, menatapku penuh curiga. Kecurigaan itu semakin dalam, tajam, dan menghunjam. Pikiranku serasa digerayangi sorot matanya. Kali ini badanku gemetar. Seakan jatung ini berhenti berdetak. 

Fabian Satya Rabani, siswa SMA Talenta Bandung

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fabian Satya Rabani

Pelajar, model, dan atlet tinggal di Bandung, Jawa Barat. IG: @satya_rabani

0 Pengikut

img-content

Saat Gibran Bikin ‘Mati Kutu’ Lawan Debatnya

Minggu, 24 Desember 2023 21:26 WIB
img-content

Jika

Minggu, 17 Desember 2023 08:57 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua